Minggu, 06 Desember 2009

TEORI-TEORI PERKEMBANGAN MANUSIA

PENDAHULUAN Menurut ahli Matematika Prancis abad ke-19, Henri Poincare, “Ilmu pengetahuan dibangun dari fakta-fakta seperti rumah dibangun dari batu bata, tetapi penumpukan fakta bukanlah ilmu pengetahuan seperti juga penumpukan batu bata bukalah rumah.” Ilmu pengetahuan memang tergantung dari bahan dasar fakta atau data, tetapi seperti yang ditunjukkan oleh Poincare, teori tentang perkembangan remaja adalah lebih dari sekedar fakta. Teori adalah seperangkat gagasan yang koheren yang membantu menjelaskan data dan membuat peramalan. Teori berisi hipotesis, asumsi yang dapat diuji untuk menentukan ketepatannya. Kita akan membahas secara singkat lima teori mengenai perkembangan remaja. Yaitu, teori psikoanalisis, kognitif, belajar sosial dan tingkah laku, teori etologi dan teori ekologi. Perlu diingat bahwa perkembangan remaja itu bersifat kompleks dan mempunyai banyak sisi. Jadi, walaupun kadang terjadi perbedaan pendapat antara pendapat yang satu dengan yang lain, kebanyakan itu hanyalah pelengkap, bukan merupakan suatu perlawanan. PEMBAHASAN TEORI-TEORI PERKEMBANGAN REMAJA A. Teori Psikoanalisis Bagi ahli teori psikoanalisis, perkembangan itu tidak disadari dan sangat diwarnai dengan emosi. Mereka percaya bahwa tingkah laku manusia hanyalah cirri permukaan, dan untuk betul-betul mamahami perkembangan kita harus menganalisis arti simbolik tingkah laku dan kerja pikiran yang terdalam. Tokoh utama teori psikoanalisis adalah Sigmund Freud (1856-1939). Freud mengembangkan gagasannya dari praktiknya dengan pasien yang mengalami gangguan mental. Freud mengatakan bahwa kepribadian mempunyai tiga struktur: • Id adalah struktur tentang kepribadian yang terdiri dari naluri, yang merupakan sumber energi psikis seseorang. • Ego adalah struktur kepribadian yang berfungsi menghadapi tuntutan realitas yang dikemukakan Freud. • Superego adalah struktur kepribadian yang merupakan cabang moral dari kepribadian. Bisaa kita sebut dengan hati nurani Dalam pandangan Freud, tuntutan yang saling berkonflik dari struktur kepribadian di atas menyebabkan rasa cemas. Misalnya, ketika ego menghambat pencapaian kepuasan oleh id, kita merasa cemas. Keadaan yang tidak menyenangkan ini berkembang ketika ego merasa bahwa id akan menimbulkan gangguan pada individu. Rasa cemas memperingatkan ego agar mengatasi konflik dengan menggunakan mekanisme pertahanan (defense mechanisms) –istilah psikoanalisa untuk metode yang tidak disadari, ego merusak realitas dank arena itu melindungi dirinya dari rasa cemas. Represi (repression) merupakan mekanisme pertahanan yang paling umum dan kuat, menurut Freud, impuls yang tidak dapat diterima dapat didorong keluar dari kesadaran dan kembali ke pikiran yang tidak disadari. Freud mengatakan bahwa pengalaman masa kecil kita banyak yang bersifat seksual, terlalu mengancam dan menimbulkan stress jika dihadapi secara sadar, dan kita mengurangi rasa cemas ini melalui represi. Setelah Freud mendengarkan, menanyakan lebih lanjut dan menganalisis pasien-pasiennya, ia menjadi yakin bahwa masalah mereka merupakan hasil pengalaman di masa kecil. Freud percaya bahwa kita mengalami lima tahap perkembangan psikoseksual dan pada setiap tahap, kita lebih mengalami kesenangan pada bagian badan tertentu daripada bagian yang lain. Daerah erogen, dalam teori Freud adalah bagian badan yang mempunyai kualitas memberikan rasa senang yang kuat pada tiap tahap perkembangan. Kelima tahapan perkembangan itu adalah : • Tahap oral, terjadi pada usia 18 bulan pertama, di mana kesenangan bayi berpusat di sekitar mulut. • Tahap anal, terjadi antara usia 1,5 – 3 tahun, di mana kesenangan anak meliputi anus atau fungsi pembuangan yang berhubungan dengan anus. • Tahap falik, antara usia 3 – 6 tahun, kesenangan anak berpusat pada alat kelamin. • Tahap latensi, terjadi antara usia 6 tahun dan pubertas, anak menekan semua minat seksual dan mengembangkan keterampilan intelektual dan sosial. • Tahap genital, terjadi mulai usia pubertas. Tahap genital adalah masa kebangkitan kembali dorongan seksual, sumber kesenangan seksual sekarang adalah orang di luar keluarganya. Kalau teratasi, individu mampu mengembangkan hubugan cinta yang matang dan berfungsi secara mandiri sebagai orang dewasa. Teori Freud telah mengalmi revisi penting yang dilakukan oleh banyak ahli teori psikoanalisis. Banyak dari ahli teori psikoanalisis kontemporer yang tidak terlalu menekankan naluri seksual dan lebih menekankan pengalaman kultural sebagi determinan perkembangan individu. B. Teori Kognitif Teori kognitif mementingkan pikiran-pikiran sadar manusia. Dua teori kognitif yang penting adalah teori perkembangan kognitif dari Piaget dan teori pemrosesan informasi. Psikolog terkenal, Jean Piaget (1896-1980), menekankan bahwa remaja menyesuaikan pikiran mereka dengan memasukkan gagasan-gagasan baru, karena tambahan informasi akan mengembangkan pikiran mereka. Piaget berpendapat kalau kita melewati empat tahap perkembangan kognitif. Yaitu : 1. Tahap sensorimotorik Brelangsung dari lahir – usia 2 tahun. Pada tahap ini anak mengkoordinasikan pengalaman sensoris dengan dengan tindakan fisik. 2. Tahap praoperasional Berlangsung kira-kira usia 2-7 tahun, pada tahap ini anak mulai mereprestasikan dunia dengan kata-kata, citra dan gambar. 3. Tahap operasional konkrit Berlangsung antara 7-11 tahun, pada tahap ini anak dapat melakukan operasi dan penalaran logis, menggantikan pemikiran intuitif, sepanjang penalaran dapat diaplikasikan pada contoh khusus atau konkrit. 4. Tahap operasional formal Terjadi antara usia 11-15 tahun, pada tahap ini individu bergerak melebihi dunia pengalaman yang aktual dan konkrit, dan berpikir lebih abstrak serta logis. Pemrosesan individu berhubungan dengan vagaimana individu memproses informasi mengenai dunianya. Pemrosesan informasi dimulai ketika informasi dari dunia ditangkap melalui sensoris dan presepsi. Kemudian disimpan, ditransformasi dan diambil kembali melalui proses ingatan. C. Teori Tingkah Laku dan Belajar Sosial Ahli teori psikoanalisa mengatakan bahwa kepribadian dua orang yang sedang berpacaran yang sangat hangat dan bersahabat diperoleh dari hubungan yang berlangsung lama dengan orang tua, terutama pengalaman masa kecil mereka. Akan tetapi teori tingkah laku dan belajar sosial akan memeriksa pengalaman kedua remaja itu yang paling akhir, untuk memahami alas an dari ketertarikan mereka. Ahli tingkah laku percaya kita harus memeriksa hanya apa yang bisa diamati dan diukur secara langsung. Para ahli tingkah laku seperti Ivan Pavlov dan John B. Watson melakukan observasi secara rinci dan menghasilkan kesimpulan bahwa perkembangan adalah tingkah laku yang dapat diobservasi, dipelajari melalui pengalaman dengan lingkungan. Dua versi dari pendekatan tingkah laku yang terkemuka sekarang ini adalah pandangan B.F. Skinner (1904-1990) dan teori belajar sosial. 1. Behaviorisme dari Skinner Menekankan pada studi ilmiah terhadap respon tingkah laku yang dapat diamati dan determinan lingkungannya. 2. Teori Belajar Sosial Adalah pandangan psikolog yang menekankan pada tingkah laku, lingkungan, dan kognisi sebagai factor utama dalam perkembangan. Ahli teori belajar sosial mengatakan bahwa kita berpikir, menalar, membayangkan, merencanakan, mengharapkan, menginterprestasikan, percaya, menilai dan membandingkan. Kalau orang lain mencoba mengontrol kita, nilai dan keyakinan kita memungkinkan kita untuk melawan kontrol tersebut. D. Teori Etologis Etologi ialah studi ilmiah pada perilaku binatang yang dianggap sebagai cabang zoologi. Ilmuwan yang berpraktek ethologi disebut etolog. Etologi dapat dibedakan dengan psikologi komparatif, yang juga mempelajari perilaku hewan, namun menguraikan studinya sebagai cabang psikologi. Jadi di mana psikologi komparatif memandang studi perilaku heawan dalam konteks dari apa yang dikenal sebagai psikologi manusia, etologi memandang studi perilaku hewan dalam konteks dari apa yang dikenal tentang anatomi dan fisiologi hewan. Lebih lanjut, psikolog komparatif awal berkonsentrasi pada studi pembelajaran, dan kemudian cenderung melihat pada perilaku dalam keadaan buatan, sedangkan para etolog awal berkonsentrasi pada perbuatan dalam keadaan alami, cenderung mendeskripsikannya naluriah. Kedua pendekatan ini saling melengkapi daripada bersaing, namun menimbulkan perspektif yang berbeda dan terkadang bertentangan dengan pendapat tentang zat bahan. Di samping itu, selama kebanyakan abad ke-20 psikologi komparatif berkembang paling kuat di Amerika Utara, sedangkan etologi lebih kuat di Eropa, dan ini menimbulkan perhatian berbeda seperti tiang pondasi filsafat yang agak berbeda dalam kedua studi itu. Perbedaan praktek ialah bahwa psikologi komparatif berkonsentrasi pada perolehan pengetahuan luas dari perilaku spesies yang lebih sedikit, sedangkan etolog lebih tertarik dalam perolehan pengetahuan dari perilaku dalam jajaran spesies yang luas, tak sekurangnya agar bisa membuat perbandingan berdasar kuat melintasi kelompok taksonomi. Para etolog telah membuat lebih banyak penggunaan dari metode komparatif yang sebenarnya daripada yang pernah diperoleh para psikolog komparatif. E. Teori Ekologis Teori ekologis adalah pandangan perkembangan sosial-kultural, yang terdiri dari lima sistem lingkungan yang berkisar dari masukan kecil dari interaksi langsung dengan agen sosial sampai pada masukan dari budaya. Kelima sistem itu adalah : 1. Mikrosistem Mikrosisten adalah di mana individu tinggal. Konteks ini mencakup keluarga individu, teman sebaya, sekolah, dan lingkungan tempat tinggal. 2. Mesosistem Mencakup hubungan antara mikro atau hubungan antar konteks. 3. Ekosistem Ekosistem tercakup bilamana pengalaman dalam lingkungan sosial lain, di mana individu tidak mempunyai peran aktif mempengaruhi apa yang dialami individu dalam konteks langsung. 4. Makrosistem Makrosistem melibatkan budaya di mana individu hidup. 5. Kronosistem Kronosistem dalam teori ekologis mencakup pola-pola kejadian lingkungan dan transisi sepanjang perjalanan hidup dan kondisi sosial-sejarah. Tidak satupun teori yang dibahas ini mampu menjelaskan secara menyeluruh perkembangan remaja yang sangat kompleks. Masing-masing teori telah memberikan sumbangan yang sangat besar pada pemahaman kita mengenai perkembangan remaja. DAFTAR PUSTAKA Santrock, John W., Adolescense Perkembangan Remaja; Jakarta: Erlangga, 2003. www.wikipedia.com

Mohammed Arkoun dan Pemikiran Post-Modernisme

Mohammed Arkoun dan Pemikiran Post-Modernisme Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah). A. Potret Seorang Sejarawan-Pemikir 1. Latar Belakang sosial dan Intelektual. Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah). Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan di antara mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, seperti pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad. Gerakan islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat berguru kepada seorang sufi terkemuka di daerah ini, Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang berkembang adalah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain. Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur kepercayaan animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci atau pemimpin keagamaan (alfa) merupakan serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[1] Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan komunikasi di mesjid. Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.[2] 2. Pendidikan dan Pengalaman Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam.[3] Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan resmi sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III).[4] Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis, seperti Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam.[5] Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme dan Karya-karyanya Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.[6] Referensi utamanya adalah De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi)., filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan Pierre Bourdieu.[7] Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme. Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier). Arkoun juga bisa mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban). Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur tentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.[8] Sementara itu, karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang. Di sini hanya disebutkan karya-karya yang berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan metodologi “cara membaca Qur’an”nya pada khususnya: traduction francaise avec introduction et notes du Tahdib Al-Akhlaq (tulisan tentang etika/terjemahan Perancis dari kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih), La pensee arabe (Pemikiran Arab), Essais sur La pensee islamique (esei-esei tentang pemikiran Islam, Lecture du Coran (pembacaan-pembacaan Al-Qur’an, pour une critique de la raison islamique (demi kritik nalar islami), Discours coranique et pensee scintifique (Wacana Al-Qur’an dan pemikiran ilmiah). Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis.[9] B. Kerangka Proyek Kritik Akal Islam Arkoun Mohammed Arkoun memiliki “proyek kritik atas akal Islam” dimana metode historis modern menempati peran sentralnya. Proyek ini terkandung dalam bukunya yang paling fundamental, Pour de la raison islamique, (Menuju Kritik Akal Islam). Buku ini, yang semula akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “naqdu al-‘aqli al-Islmiy”, kemudian diterjemahkan dengan judul “tarikhiyyatu al-Fikri al-Arabiy al-Islamiy” (Historitas Pemikiran Arab Islam). Menurut Luthfi Assyaukany, karya tersebut bisa mewakili pemikiran Arkoun secara keseluruhan, meskipun ia masih mempunyai banyak karya lain. [10] Metode yang ditempuh Arkoun dalam buku ini adalah metode historisisme. Historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevensi antara teks dengan konteks. Melalui metode historisisme, yang mewujud dalam bentuk “kritik nalar islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapkan pada teks-teks agama, apa yang diburu Arkoun adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut.[11] Luthfi Asysaukanie menggolongkan Arkoun ke dalam tipologi pemikir Arab kontemporer yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi wacana pemikiran ini masih percaya pada tradisi sejauh disesuaikan dengan tuntutan modernitas. Arkoun, misalnya, membedakan dua tradisi: 1) Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi transendental, abadi dan tak berubah; 2) tradisi dengan t kecil yang adalah produk sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun menurun maupun hasil penafsiran atas wahyu tuhan lewat teks-teks suci.[12] Bagi Arkoun, hanya tradisi kedualah yang dapat diuji lewat kritisisme, dan karenanya ia mengabaikan tradisi yang pertama. Kelak, sebagaimana akan dibahas, pembedaan Arkoun atas tradisi ini, juga terlihat dalam bangunan metodologi “cara membaca Qur’an”nya. Arkoun menganggap proyek kritik akal Islamnya sebagai tak lain dari perluasan terhadap makna ijtihad klasik. Perpindahan dari ijtihad klasik ke kritik akal Islam adalah usaha mematangkan dan memantapkan posisi ijtihad itu sendiri.[13] Karena begitu sentralnya “proyek kritik akal Islam” ini dalam bangunan pemikiran Arkoun, berikut ini disajikan penjelasan Arkoun mengenai maksud dari kata “kritik” dan “akal”, dengan eksplorasi penerapannya. Menurut pengakuannya, istilah “kritik akal” dalam bukunya itu tidaklah mengacu pada pengertian filsafat, melainkan pada kritik sejarah. Ketika mendengar kata kritik akal, orang memang tidak gampang melupakan karya filosof besar Immanuel Kant, Critique of pure Reason dan Critique of Practical Reason, dan karya Sartre, Critique of Dialectical Reason. Tetapi, kata Arkoun, belakangan Francois Furet menggunakan istilah tersebut untuk tujuan penelitian sejarah. Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet adalah seorang sejarawan. Ia berusaha memikirkan (ulang secara kritis tentunya) seluruh tumpukan literatur sejarah mengenai revolusi perancis. Revolusi Perancis adalah peristiwa sejarah yang amat kompleks serta mempunyai pengaruh yang begitu besar, sebegitu rupa sehingga darinya lahir banjir bandang literatur komentar, interpretasi yang beragam dan bahkan bertentangan. Menurut Arkoun keadaan ini bisa dibandingkan dengan peristiwa turunnya wayhu Al-Qur’an yang telah melahirkan sekian banyak literatur, yang selain beragam juga kadang saling bertentangan satu sama lain. Ia menegaskan: Peristiwa itu (Revolusi Perancis) telah merangsang lahirnya komentar serta teori yang begitu luas serta teori yang begitu luas sejak dua ratus tahun lampau hingga sekarang (1789-1989). Keadaan ini dapat kita bandingkan dengan apa yang terjadi pada kita dengan teks Al-Qur’an.[14] Adapun kata akal merujuk pada akal sebagai fakultas dalam diri manusia untuk berpikir. Manusia berpikir dengan menggunakan alat-alat, yakni berupa kata-kata dari suatu bahasa, kategori-kategori dari logika, postulat atau hipotesa tentang realitas. Akal bisa berubah, seiring dengan perkembangan alat-alat berpikir yang ditemukan akal itu sendiri, seperti dari penemuan-penemuan ilmiah yang revolusioner. Karena itu, Arkoun menegaskan bahwa akal bukanlah konsep abstrak yang melayang-layang di udara, ia adalah konsep konkret yang bisa berubah-rubah. Ia mempunyai sejarahnya dan memang terus meyejarah. Arkoun membedakan bahan dan postulat antara akal religius (religius reason) dan akal filosofis (philosophical reason). Dalam diskursus religius misalnya, ada metafor-metafor, simbol dan kisah-kisah mitis. Akal religius digunakan oleh kaum semitis: yahudi, kristen dan islam, sementara akal filosofis digunakan oleh filosof Yunani. Menurutnya, penemuan revolusioner Galileo dibidang astronomi (bahwa bumi mengitari matahari) pada abad 16, revolusi Lutherian pada abad 18 yang menegakkan pendirian (otonomi) akal--dan menempatkannya dalam posisi rasional—terhadap kitab suci, dan revolusi politik di Inggris dan Perancis pada abad 18, telah merubah akal secara radikal dengan menghasilkan akal “modern”. Tetapi, apa yang terjadi di Italia, Inggris, Perancis, spanyol itu tidak terjadi dalam masyarakat-masyarakat Islam. [15] Akibatnya, akal (atau alam pikiran) umat Islam belum bisa lepas dari mental abad pertengahan yang kental dengan ortodoksisme dan dogmatisme. Untuk menelusuri sejarah pemikiran Islam, layaknya seorang arkeolog, Arkoun menggali seluruh lapisan geologis pemikiran (akal) Arab-Islam dengan memakai “pisau” epistema Michael Foucault. Arkoun membagi tiga tingkatan sejarah terbentuknya akal Arab-Islam: klasik, skolastik dan modern. Yang dimaksud dengan tingkatan klasik adalah sistem pemikiran yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk peradaban Islam. Skolastik adalah jenjang kedua yang merupakan medan taklid sistem berpikir umat. Sedangkan tingkatan modern adalah apa yang dikenal dengan kebangkitan dan revolusi. Dengan membagi sejarah ke dalam tiga penggalan (ruputure) epistema ini, tampaknya Arkoun bermaksud untuk menjelaskan term “yang terpikirkan” (le pensable/ thinkable), “yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthikable) dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable/not yet thought),[16] untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran Arab-Islam. Yang dimaksud dengan “yang terpikirkan adalah hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Sementara “yang tak terpikirkan adalah hal-hal seputar tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan.[17] Demi menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).[18] Baginya, lantaran Assyafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu serta pembakuan Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah pemikiran yang tadinya “yang terpikirkan”, berubah menjadi hal-hal yang tak terpikirkan. Sampai sekarang, di tengah tantangan barat modern, menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus melebar. Demikianlah, Arkoun melihat ortodoksisme (paham yang selalu menekankan pada penafsiran nash-nash yang pasti benar, sehingga penafsiran orang lain salah, bid’ah) dan dogmatisme abad skolastik (dogmatisme ditandai dengan pencampuradukkan antara wahyu dengan non wahyu, atau masuknya non-wahyu ke dalam wilayah wahyu), masih tetap bercokol dalam akal Arab-Islam dewasa ini. Dengan kritik historisnya, Arkoun menemukan karakteristik umum akal-akal islam. Pertama, ketundukan akal-akal kepada wahyu yang “terberi” (diturunkan dari langit). Wahyu mempunyai kedudukan dan posisi yang lebih tinggi, sebab dihadapan akal-akal itu ia memiliki watak transendentalitas (al-ta’ali, La trancendance) yang mengatasi manusia, sejarah dan masyarakat. Kedua, penghormatan dan ketaatan kepada otoritas agung. Imam mujtihid dalam setiap madzhab tidak boleh dibantah atau didebat, walaupun di antara para mujtahid sendiri terdapat banyak perbedaan bahkan perselisihan. Para imam mujtahid ini telah mematok kaidah-kaidah menafsirkan Al-Quran secara benar, termasuk istimbath hukum. Otoritas ini menjelma dalam sosok para imam madzhab. Ketiga, akal beroperasi dengan cara pandang tertentu terhadap alam semesta, yang khas abad pertengahan, sebelum lahirnya ilmu astronomi modern.[19] Maka, bagi Arkoun, syarat utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan) pemikiran Islam di tengah kancah dunia modern adalah dekontruksi terhadap epistema ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan. Dari kritik historisnya, Arkoun juga mendapati bahwa tumpukan literature tafsir Al-Qur’an tak ubahnya seperti endapan lapisan-lapisan geologis bumi. Dalam konteks ini, secara radikal Arkoun menganggap sejarah tafsir sebagai sajarah penggunaan Al-Qur’an sebagai dalih: Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial atau teologi yang menjadi “payungnya” nya daripada dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.[20] Menurutnya, pola hubungan yang terus-menerus antara teks pertama dan ekploitasi teologis dan ideologis yang begitu beragam terhadapnya yang dilakukan oleh berbagai latar kultural dan sosial yang berbeda itu, membuat teks kedua memiliki sejarahnya sendiri. Sejarah tafsir adalah sejarah pernyataan yang diulang-ulang, secara lebih kurang atau lebih bersemangat, mengenai sifat kebenaran, keabadian dan kesempurnaan dari risalah yang diterima dan disampaikan Nabi Muhammad. Dengan begitu, tafsir lebih bersifat “apologi defensif” daripada pencarian suatu cara memahami. Padahal, kata Arkoun, Al-Qur’an tidak membutuhkan suatu apologi guna menunjukkan kekayaan yang terkandung didalamnya.[21] Karena itu, berbagai literatur tafsir, di satu sisi, memang membantu mengantarkan kita untuk memahami Al-Qur’an; namun, di sisi lain, kadang malahan merintangi pemandangan kita dari Al-Qur’an. Lantaran sejarah tafsir yang “menggeologis” itulah, barangkali, Arkoun memandang Al-Qur’an sekarang lebih banyak menyebabkan kemandegan ketimbang pencerahan dan kemajuan: Jadinya sekarang, Kalam Allah ditentang dan digagalkan oleh praktek masyarakat kita di masa kini; dihormati, namun pada kenyataannya dihalangi oleh kaum muslim, dan direduksi oleh pengetahunan ilmiah kaum orientalis menjadi kejadian budaya semata.[22] Dalam konteks di atas, perlu segera dicatat bahwa yang dianggap tidak relevan atau memandegkan bukanlah Al-Qur’an, melainkan pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqaha dalam menafsirkan Al-Qur’an: Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak relevan. Saya tidak berkata demikian. Harap berhati-hati. Yang saya katakan adalah bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqoha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak relevan. Sebab, sekarang kita ilmu baru seperti antropologi, yang tidak mereka kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, metode sejarah, biologi—semuanya tidak mereka kuasai.[23] Demikian komplek dan peliknya sejarah tafsir, sehingga upaya restrukturisasi (I’adat tarkib) dengan cara penulisan sejarahnya secara jernih dan kritis adalah sangat mendesak. Berangkat dari persoalan ini, Arkoun merumuskan permasalahan: Bagaimanakah kita dapat melakukan klarifikasi (al-idhahah at-tarikhiyyah) seperti terlihat di atas? Bagaimana kita dapat membaca Al-Qur’an secara “baru”? Bagaimanakah kita dapat memikirkan ulang pengalaman kesejarahan Islam sepanjang empat belas abad? Untuk menelusuri alur pikiran metodologi Arkoun dalam memahami Al-Qur’an (bagaimana), terlebih dahulu di sini akan diajukan dua pertanyaan: (1) apa itu teks Al-Qur’an; dan (2) apa tujuan membaca Al-Qur’an. Sebab, secara metodologis, cara membaca Al-Qur’an sedikit banyak ditentukan oleh antara lain pandangan mengenai Al-Qur’an itu sendiri (postulat ontologis) dan tujuan pembacaannya (postulat Aksiologis).[24] C. Apa Itu Al-Qur’an dan Apa Tujuan Membaca (Qira’ah) nya? Di antara teks-teks keagamaan, tentunya teks kitab suci menduduki posisi paling sentral karena di dalamnya terkandung pewahyuan ilahi kepada manusia. Lagi pula, proses pewahyuan ini besifat unik, dalam pengertian sekali untuk selamanya dan tak tergantikan. Nama-nama lain Al-Qur’an sendiri seperti al-Furqon, (al-Furqon:1), al-Kitab (al-Dukhon:1-2), Kalam (al-Taubah:6), Nur (al-Nisa:174), Mau’idzah (Yunus:57), al-Shirat al-Mustaqim (al-An’am:153)[25] dan lain-lain, mencerminkan pandangan kaum muslim mengenai status kitab sucinya yang sangat dimuliakan dan disucikan. Mengikuti analisis semiotik, Arkoun menekankan bahwa teks yang ada di tengah-tengah kita adalah hasil tindakan pengujaran (enonciation). Dengan kata lain, teks ini berasal dari bahasa lisan yang kemudian ditranskripsi ke dalam bentuk teks. Tidak terkecuali teks-teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diterima dan disampaikan nabi Muhammad kepada umat manusia selama tidak kurang dari dua dasawarsa. Terhadap keyakinannya ini, dalam berbagai kesempatan Arkoun selalu menegaskannya: baik yang bersifat spontan dari keimanannya sebagai muslim maupun dari pernyataan-pernyataannya yang ingin “membuktikan” keniscayaan petanda terakhir (signifie dernier). Akan tetapi, wahyu dalam bentuk bahasa lisan ini baru kemudian dibukukan setelah memasuki masa Utsman, sekitar satu setengah periode setelah nabi Muhammad saw. wafat. Jauh sebelum Arkoun, buku-buku pegangan (teksbook) sebenarnya telah banyak memberikan informas mengenai penulisan dan pembakuan wahyu menjadi mushaf Utmsni ini. Hanya saja, Arkoun melihat bahwa informasi-informasi tersebut belum dipertimbangkan secara serius bagi penjelajahan makna Al-Qur’an. Untuk mempertimbangkan data historis ini semaksimal mungkin, Arkoun kembali pada rujukan linguistik mengenai: (1) peralihan dari bahasa lisan ke bahasa tulisan; dan (2) perubahan dari kalam kenabian yang bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam, yang membicarakan situasi akhir batas eksistensial manusia: cinta, hidup, dan mati; menjadi wacana pengajaran yang memerikan menurut anggitan kaku dan karenanya cenderung tertutup.[26] Tampaknya, bagi Arkoun, proses yang kedua (perubahan kalam kenabian) dengan yang pertama (peralihan bahasa lisan ke tulisan) berlangsung seiring dan berjalan secara simultan. Menerapkan proses linguistis di atas kepada proses gerakan tanzil (turunnya) wahyu, Arkoun memilah-milah tahap-tahap kalam Allah (KL), Wacana Qur’ani (WQ), Korpus Resmi Tertutup (KRT) dan Korpus Tertafsir (KT). Anggitan Kalam Allah atau merujuk pada Logos atau sabda Allah yang tak terbatas dalam pengertian yang dipakai al-Qur’an (31:27): ”Seandainya semua pohon yang ada di atas bumi diubah menjadi pena dan lautan yang diperluas dengan tujuh lautan lain dengan tinta, kata-kata Allah tidak akan habis (oleh usaha mentranskripsinya)”. Demikian juga dalam pengertian orang-orang kristen yang mengatakan, “ Isa adalah Sabda Allah”. Maka, wahyu-wahyu yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan para rasul hanyalah penggalan dari Kalam Allah yang tak terbatas, suatu Kalam yang tak tertulis yang didefinisikan dalam teologi klasik sebagai bersamaan dengan Allah dalam keabadian-Nya. Penggal-penggal dari kalam Allah secara linguistis telah diartikulasikan dalam bahasa Ibrani (Al-kitab), bahasa Aramea (Isa, meski demikian ajarannya dilaporkan dalam bahasa Yunani), dan bahasa Arab (Qur’an). Tahap pengujaran lisan sejajar dengan atau sesuai dengan tahap wacana (yakni wacana dalam pengertian linguistik yang diartikan sebagai pengujaran yang mengandaikan adanya seorang pembicara dan pendengar dengan niat dari yang pertama untuk menyampaikan kepada yang kedua suatu pesan dan kemungkinan bagi yang kedua untuk bereaksi secara langsung) Alkitab, Injil dan Qur’an. Hubungan komunikasi antara Tuhan dan Nabi selalu terkait dengan situasi wacana atau lingkuangan semiologis ketika pelepasan dan penangkapan pesan berlangsung, yang terjadi sekali untuk selamanya dan tidak bisa diulang. Inilah tahap semio-linguis yang pertama. Tahap semio-linguis kedua adalah proses pencatatannya secara tertulis dalam mushaf Utsmani (Korpus Resmi Tertutup).[27] Dengan ungkapan Corpus officiel clos, Korpus resmi tertutup, Arkoun ingin menekankan aspek historisis dari mushaf, yang, suka atau tidak, tidak bisa diabaikan. Arkoun mengatakan: This is extremely important: it refer to many historical fact depending on social and political agent, not on God. Let us elaborate it more clearly.[28] Tahap semio-linguis ketiga adalah penafsiran dari Korpus Resmi Tertutup itu. Secara linguistis adalah mutlak sehubungan dengan penjelajahan makna-makna al-Qur’an itu, pemahaman bahwa selalu teks tertulislah yang ditafsirkan dan bukan lagi wacana pertama. Arkoun mengajukan argumentasi: Sesungguhnya kita tahu bahwa suatu teks tidak ditulis selama saya belum membacanya: artinya setiap pembaca menulis teks itu lagi sesuai dengan kisi-kisi persepsinya dan prinsip-prinsip penafsirannya. Kisi-kisi dan prinsip-prinsip sendiri tidak hanya berkaitan dengan tradisi kebudayaan yangdipakiai setiap pembaca sebagai sandaran, namun juga dengan paksaan ideologis dari keolompok dan masanya.[29] Dengan demikian, dapat dilihat secara mencolok bahwa Arkoun mengaitkan (menarik korelasi positif) proses pembekuan tafsir al-Quran tersebut yang tercermin dari berbagai tumpukan literatur, dengan proses penetapan al-Qur’an secara tertulis dan dengan perubahan dari wacana kenabian menjadi wacana pengajaran, sebagaimana disinggung di atas. Pendirian Arkoun ini bukannya melenggang tanpa kritik. Van Koningsveld, dalam kritiknya terhadap Arkoun, mengatakan bahwa Arkoun melebih-lebihkan pentingnya pencatatan teks Qur’an secara tertulis sebagai faktor pembakuan penafsirannya. [30] Merujuk pada Hjemselv, bahwa pendekatan semiotis yang memandang suatu teks sebagai keseluruhan dan sebagai sesuatu sistem dari hubungan-hubungan interen, dan mendekati suatu teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau praanggapan lain, tampaknya Arkoun melihat Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan teks yang terkait secara koheren dan utuh satu sama lain. Karena itu juga, Arkoun ingin memandang Al-Qur’an sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri berbicara dan memandang dirinya sendiri.[31] Dari semua proses historis di atas, Arkoun tampaknya ingin menegaskan bahwa telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala dimensinya. Firman kenabian (prophetique) di reduksi menjadi firman yang berorientasi pada pengajaran (professoral), yakni berorientasi pada abstraksi tanpa memperhitungkan secara serius pihak yang mula-mula dituju oleh firman itu. Dalam ungkapan bahasa semiotika, teks Qur’an sebagai parole di desak oleh teks langue.[32] Mengenai langue bahasa arab sebagai lokus turunnya Al-Qur’an ini, Arkoun mengatakan bahwa Pada kenyataannya, wacana Qur’an adalah suatu orkestrasi musikal sekaligus simantis dari anggitan-anggitan kunci yang ditimba dari kosa kata arab biasa yang telah mengalami transformasi radikal selama berabad-abad.Di atas segalanya, Arkoun berpendapat bahwa meskipun Qur’an sekarang lebih berfungsi sebagai teks tertulis, Qur’an kini tetap merupakan parole bagi para mukmin. Adapun tujuan membaca al-Qur’an (qira’at) bagi Arkoun adalah untuk mengerti (comprendre) komunikasi kenabian yang disampaikan lewat teks tertulis. Dengan kata lain, qira’at dimaksudkan untuk melakukan semacam “napak tilas” proses pengujaran (enonciation) Al-Qur’an dari berbagai segi dan dimensinya, sebagaimana waktu pertama kali di ungkapkan dalam suasana semiologis yang masih kaya dan segar. Artinya, tujuan qira’at bukan semata-mata untuk mengerti teks, melainkan untuk mendapatkan teks. Secara metodologis, “napak tilas” ini sebenarnya tidak mungkin karena proses pengujaran hanya terjadi satu kali, unik, dan karenanya tak akan pernah terulang lagi. Yang paling mungkin dilakukan hanyalah menjulurkan tangan secara asimtotis[33] kepada suatu pendekatan yang makin lama makin akrab dengan wacana itu, dengan cara mengembalikan (dengan segala keterbatasannya) teks Qur’an sebagai langue menjadi parole bagi orang-orang yang hidup pada zaman sekarang ini. Bagi Arkoun, Qira’at juga dimaksudkan untuk memproduksi makna-makna yang berada di balik teks harfiah, dengan cara mengungkap struktur bahasa mitis Al-Qur’an dan melepaskannya dari jebakan bahasa logis dan logosentris. Tampaknya, bagi Arkoun, qira’at juga berarti menangkap pesan universal dan asas paling primordial yang berada di balik semua Al-Kitab (selauruh kitab suci yang diturunkan Allah kepada umat manusia lewat perantaraan para rasul-Nya), dengan melakukan semacam ziarah spiritual vertikal melalui gerak-balik menaiki tangga gerakan linear tanzil Al-Qur’an yang dikemukakannya, sampai pada Sabda atau Kalam Allah yang tak terhingga, guna mendamaikan perang teologis yang terjadi di antara masyarakat kitab. Karena itu, Arkoun menginginkan tafsirnya mampu mengatasi masalah ketegangan klaim teologis ini: Keinginan kami adalah membuat mungkin suatu penanganan yang solider terhadap kitab-kitab suci oleh orang-orang “ahlu kitab” Untuk itu kami mengajak pembaca untuk membaca Al-Qur’an menurut aturan-aturan suatu metode yang dapat diterapkan kepada semua teks doktrinal besar.[34] D. Cara Membaca Al-Qur’an Mohammed Arkoun Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa: 1. mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrina dalam Islam dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua litaeratur yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku; 2. Menetapkan suatu kriteriologi [35]yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari. Dalam mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan—sebisa mungkin—aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup tiga saat (moment): 1. suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan yang tampak. 2. Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis. 3. Suatu saat historis yang di dalamnya akan akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.[36] 1. Moment Linguistis Kritis Pembacaan linguistik dimulai dengan pengumpulan data-data linguistis dari Al-Qur’an sebagaimana tertulis. Dalam tahap ini, misalnya, Arkoun memeriksa tanda-tanda bahasa (modalisateur du dicours). Karena “kanon resmi tertutup” ditulis dalam bahasa arab, maka tanda-tanda bahasa yang harus diperhatikan adalah tanda-tanda (bahasa) bahasa arab. Menurut Arkoun, semakin kita menegaskan modalisateur du discours, kita semakin memahami maksud (intention) dari locuteur (qo’il atau penutur). Untuk memasuki proses pengujaran, di antara unsur-unsur linguistik yang diperiksa biasanya adalah determinan (ism ma’rifah), kata ganti orang (pronomina, dlomir), kata kerja (fi’il), sistem kata benda (ism dan musamma), struktur sintaksis dan lain-lain. Pemeriksaan terhadap unsur-unsur linguistis ini dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan (actants), yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam teks atau narasi. Dengan kategori aktan, ujaran (Perancis enonce/Inggris utterance) dipandang sebagai suatu hubungan antara berbagai aktan yang membentuknya. Atau,dalam kaca mata linguistik, ujaran mau tidak mau harus dilihat dari dari kategori hubungan antar aktan. Dilihat dari kategori ini, ada tiga poros hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan yang terpenting adalah poros subyek-obyek di mana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan “apa”. Poros kedua adalah poros pengirim-penerima yang menjawab persoalan siapa melakukan dan untuk siapa dilakukan. Sedengkan poros ketiga dimaksudkan untuk mecari aktan yang mendukung dan menentang subyek, yang berada dalam poros “pendukung-penerima”. Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu pembaca untuk mengidentifikasi aktan dan kedudukannya. Aktan tidak selalu harus berupa orang atau pribadi, tapi juga bisa berupa nilai. [37] Dengan kategori poros aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkoun mengatakan bahwa Allah adalah aktan pengirim-penerima; manusia sebagai pengujar adalah aktan penerima-pengirim. Dalam kebanyakan surat Al-Qur’an, Allah adalah aktan pengirim (destinateur) pesan, sementara manusia adalah aktan penerima (destinaire) pesan. Akan tetapi hal sebaliknya juga bisa berlaku: manusia juga menjadi “pengirim” dan Allah menjadi “penerima”. Analisis aktansial ini tidak saja diterapkan pada tingkat sintaksis tapi juga terhadap seluruh teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh narasi. Hasil dari kritik linguistik di atas sebenarnya sudah banyak dipikirkan oleh para mufassir klasik. Mereka mementingkan—dan sudah terbiasa dengan analisis sintaksis. Tetapi bagi Arkoun lebih dari itu: pentingnya analisis linguistis kritis ini terletak pada kemungkinan “mengungkapkan tatanan yang mendalam” yang berada di balik penampakan teks yang seolah-olah tidak teratur. 2. Moment Antropologis: Analisis Mitis Professor linguistik dari Swis, J. Starobinski, mengartikan hubungan kritis sebagai “a transcoding, a free transcription of various data presented in the ‘interior’ of the ‘text’”. Keberhasilan suatu kritik teks bukan terletak pada kemampuannya untuk mengupas. Keberhasilannya harus diarahkan kepada hubungan-hubungan yang ada pada teks yang tidak lain adalah “the driving force behind the text” Asumsi Starobinski ini terutama berlaku bagi penafsiran teks-teks keagamaan. Karena analisis linguistis memberikan kesan yang determisnistis dan tidak mempunyai piranti khusus bagi teks keagamaan. Arkoun telah berusaha melampaui keterbatasan linguistik tersebut. Dalam hal ini, Starobinski telah memberikan andil besar dalam usaha Arkoun untuk memberikan pertanggungjawaban metodologis. Arkoun meninggalkan aras kritis dan analitis menuju aras relasional. Pada aras ini, qira’at diarahbidikkan kepada signifie dernier, petanda terakhir. Dalam rangka mencari petanda terakhir inilah Arkoun beranjak pada tahap (moment) antropologis di mana ia memakai analisis mitis. Bila pada tahap linguistis-kritis data linguistis pertama-tama dianggap sebagai “kata sebagai tanda” (mot-signe), maka pada tahap antropologis data linguistik kemudian dianggap sebagai “kata sebagai simbol” (mot-symbole). [38] Menurut Arkoun, semua ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis dalam Alkitab dan Perjanjian Baru terdapat juga dalam Al-Qur’an. Gaya bahasa Al-Qur’an itu adalah: 1. benar, karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran manusia yang belum digalakkan oleh gaya bahasa mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang sebanding; 2. efektif, karena gaya bahasa itu menghubungkan dengan waktu purba penciptaan dan karena gaya itu sendiri memulai suatu waktu yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian Muhammad dan para sahabat yang solih (as-salaf as-solih); 3. sepontan, karena gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-kepastian yang tidak bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada keseuaian yang mendasar dengan semangat-semangat yang permanen dalam kepekaan manusia; 4. simbolis, bisa dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan yang penuh dengan bidadari-bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai anggur dan madu. Dengan suatu bangunan simbolis luas di atas, Al-Qur’an membanjiri hati nurani manusia. Hingga hari ini bangunan simbolis luas itu tak henti-hentinya memberikan ilham kepada orang-orang beriman untuk berpikir dan bertindak. Dalam Al-Qur’an unsur-unsur bangunan simbolis itu adalah: a) “simbolisme kesadaran akan kesalahan” yang oleh refleksi teologi, yuridis dan moral akan disederhanakan dalam peraturan formal dan kaku; b) “simbolisme cakrawala eskatologis” yang menugasi sejarah dengan satu makna, yakni pengarahan dan pemaknaan. Orang-orang masuk Islam, dengan demikian, mendapatkan dirinya termasuk dalam Sejarah Sakral dari umat Tuhan; sebagai agen-agen ungkapan terakhir Kehendak Sakral—Muhammad telah menutup dengan pasti rangkaian para Rasul—mereka menjadi umat terpilih yang mesti menunjukkan cakrawala keselamatan kepada orang-orang lain; c)”simbolisme umat” yang menerjemahkan apa yang telah lalu dan menerima proyeksi sejarah konkret di Madinah pada tahun 1H/622 M.;d)”simbolisme hidup dan mati”. Simbolisme-simbolisme yang berbeda-beda di atas ini saling mengisi,saling memperkuat untuk membangun suatu visi dari dunia yang benar, yakni suatu visi fungsional yang disesuaikan secara sempurna dengan pencarian keselamatan kita. Untuk sekadar mengambil contoh, simbolisme menyangkut kesadaran akan kejahatan tampak misalnya pada surat Al-Fatihah dalam ungkapan iyyaka na’budu..., sirat mustaqim, magdlubi alaihim, dlaallin dan lain-lain. Maka, dalam Islam khususnya, visi imajinatif transhistoris akan mengalahkan visi metavisis yang merasionalkan.[39] Analisis simbolis ini memungkinkan bahasa keagamaan dapat menjadi bahasa performatif atau bahasa yang mempunyai kekuatan kreatif (force effectuante). Ciri performatif ini, yang memang merupakan ciri yang paling mencolok dalam bahasa keagamaan, juga berlaku pada Al-Qur’an. Baginya, “wacana” performatif” adalah “parole yang ‘mengatakan’ apa yang saya buat dan pada waktu yang bersamaan merupakan parole yang membuat saya menyempurnakan atau menyelesaikan tindakan saya”. Dengan demikian, wacana performatif bukanlah wacana tentang “tindakan”, melainkan wacana yang diucapkan bersamaan dengan dilakukannya “tindakan”. Segi performatif inilah yang memungkin Al-Qur’an menjadi parole bagi siapa saja yang mengujarkannya sebagaimana ia dulu menjadi parole nabi Muhammad SAW. Ketika kita membaca “ar rahman ar rahim, misalnya, kita tidak hanya mengatakan-- atau membuat konstatasi tentang--suatu tindakan, melainkan juga sedang menciptakan tindakan, entah itu pengharapan (mohon pengampunan dari ar rahman ar rahim), pengakuan, penyerahan diri, permintaan kepada-Nya dan seterusnya.[40]

POSISI DAN RAGAM GURU DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

 
PENDAHULUAN

Perlu dicatat bahwa dalam interaksi instruksional antara guru dengan siswa, istilah proses mengajar-belajar (PMB) dipandang lebih tepat daripada proses belajar-mengajar (PBM). Alasannya, karena dalam “proses” ini yang hampir selalu lebih dahulu aktif adalah guru (mengajar) lalu diikuti oleh aktivitas siswa (belajar), bukan sebaliknya. Selain itu para pakar psikologi pendidikan kelas dunia seperti Barlow (1985) dan Good & Brophy (1990) menyebut hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu dengan istilah “teaching-learning process” bukan “learning-teaching process”. Sehubungan dengan ini, setiap guru sangat diharapkan memiliki karakteristik (ciri khas) kepribadian yang ideal sesuai dengan persyaratan yang bersifat psikologis-pedagosis.
Hal lain yang juga perlu dimiliki oleh para guru adalah kompetensi dan profesionalisme keguruan yang sampai batas tertentu sering terlupakan oleh para guru. Sehingga, tidak jarang muncul anggapan bahwa guru itu tak berbeda dengan profesi lainnya. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis akan menguraikan tentang posisi dan ragam guru dalam konteks belajar-mengajar. Namun dalam penggunaannya istilah PBM masih tetap dipertahankan untuk selanjutnya.













BAB I
PEMBAHASAN

Dalam PBM setiap materi pelajaran, posisi para guru sangat penting dan strategis, meskipun gaya dan penampilan mereka sangat bermacam-macam. Di antara mereka ada yang terlalu keras dan ada pula yang terlalu lemah dan sebagainya.
A.     Posisi Guru dalam Proses Belajar-mengajar
Menurut Claife (1976), guru adalah: ...an authority in the disciplines relevant to education, yakni pemegang hak otoritas atas cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pendidikan. Walaupun begitu, tugas guru tentu tidak hanya menuangkan ilmu pengetahuan ke dakam otak para siswa, tetapi juga melatih keterampilan (ranah karsa) dan menanamkan sikap serta nilai rasa (ranah rasa) kepada mereka (Daradjat, 1982).
Sehubungan dengan hal itu, rangkaian tujuan dan hasil yang harus dicapai guru terutama ialah membangkitkan kegiatan belajar siswa. Dengan kegiatan siswa diharapkan berhasil mengubah tingkah lakunya sendiri ke arah yang lebih maju dan positif.
Selanjutnya , untuk memperjelas uraian mengenai posisi guru tadi, berikut ini penulis sajikan sebuah model.
Posisi Guru dalam PBM



Siswa Belajar



Perubahan positif tingkah laku kognitif afektif, dan psikomotor siswa




Guru
Mengajar




Model ini menunjukkan bahwa kegiatan belajar siswa merupakan akibat atau hasil kegiatan guru mengajar dalam konteks PBM. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya proses belajar siswa tanpa melibatkan kegiatan guru, misalnya belajar di luar konteks PBM atau ketika siswa melakukan apa yang disebut everyday learning (Biggs, 1991). Artinya, setiap guru mengajar selalu membutuhkan murid belajar, tetapi tidak semua murid belajar membutuhkan guru mengajar.

B.     Ragam Guru dalam Proses Belajar-mengajar
Berdasarkan hasil riset mengenai gaya penampilan dan kepemimpinan para guru dalam mengelola PBM, ditemukan tiga ragam guru, yakni: otoriter, laissez-faire, dan demokratis. Tetapi, Barlow (1985) mengemukakan satu lagi yaitu otoritatif. Penjelasan mengenai ragam-ragam guru ini adalah sebagai berikut.
Pertama, guru otoriter (authoritarian). Secara harfiah, otoriter berarti berkuasa sendiri atau sewenang-wenang. Dalam PBM, guru yang otoriter selalu mengarahkan segala aktivitas siswa dengan keras tanpa dapat ditawar-tawar lagi. Hanya sedikit sekali kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk berperan-serta memutuskan cara terbaik untuk kepentingan belajar mereka. Memang diakui, kebanyakan guru yang otoriter dapat menyelesaikan tugas keguruannya dengan baik, dalam arti sesuai dengan rencana. Namun guru yang seperti ini sangat sering menimbulkan kemarahan dan kekesalan para siswa khususnya siswa pria, bukan saja karena wataknya yang agresif tetapi juga karena merasa kreativitasnya terhambat.
Kedua, guru laissez-faire (sebut: lezei fee), padanannya adalah individualisme (faham yang menghendaki kebebasan pribadi). Guru yang berwatak ini biasanya gemar mengubah arah dan cara pengelolan PBM secara seenaknya, sehingga menyulitkan siswa dalam mempersiapkan diri. Sebenarnya, ia tidak menyenangi profesinya sebagai tenaga pendidik meskipun mungkin memiliki kemampuan yang memadai. Keburukan lain yang disandang adalah kebiasaan rutinnya menimbulkan pertengkaran-pertengkaran kecil.
Ketiga, guru demokratis (democratic). Arti demokratis adalah bersifat demokrasi, yang pada intinya mengandung makna memperhatikan persamaan hak dan kewajiban semua orang. Guru yang memiliki sifat ini pada umumnya dipandang sebagai guru yang paling baik dan ideal. Alasannya, disbanding dengan guru-guru lainnya guru ragam demokratis lebih suka bekerja sama dengan rekan-rekan seprofesinya, namun tetap menyelesaikan tugasnya secara mandiri. Ditinjau dari sudut hasil pengajaran, guru yang demokratis dengan yang otoriter tidak jauh berbeda. Akan tetapi dari sudut moral, guru yang demokratis lebih baik sehingga ia lebih disenangi baik oleh rekan-rekan sejawatnya maupun oleh para siswanya sendiri.
Keempat, guru yang otoritatif (authoritative). Otoritatif berarti berwibawa karena adanya kewenangan baik berdasarkan kemampuan maupun kekuasaan yang diberikan. Guru yang otoritatif adalah guru yang memiliki dasar-dasar pengetahuan bidng studi vaknya maupun pengetahuan umum. Guru seperti ini biasanya ditandai oleh kemampuan memerintah secara efektif kepada para siswa dan kesenangan mengajak kerja sama dengan para siswa bila diperlukn dalam mengikhtiarkan cara terbaik untuk penyelenggaraan PBM. Dalam hal ini, ia hampir sama dengan guru yang demokratis. Namun, dalam hal memerintah atau memberi anjuran, guru yang otoritatif pada umumnya lebih efektif, karena lebih disegani oleh para siswa, dan dipandang sebagai pemegang otoritas ilmu pengetahuan vaknya seperti yang telah diuraikan di muka.












BAB II
KESIMPULAN

Tugas dan tanggung jawab guru sebagai pendidik adalah membantu dan membimbing siswa untuk mencapai kedewasaan seluruh ranah kejiwaan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, baik kriteria institusional maupun konstitusional. Untuk dapat menjalankaan tugas dan tanggung jawabnya itu, guru berkewajiban merealisasikan segenap upaya yang mengarah pada pengertian membantu dan membimbing siswa dalam melapangkan jalan menuju perubahan positif seluruh ranah kejiwaannya. Dalam hal ini, kenyataan yang paling utama dalam memberi bantuan dan bimbingan itu adalah mengajar. Yang pada pelaksanaannya, seorang guru harus memberikan yang terbaik kepada para siswanya. 
Memang telah diketahui dan bisa dimaklumi bahwa setiap guru mempunyai karakteristik atau ciri khas dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Akan tetapi dalam penerapannya,seorang guru harus mampu membawa siswa kepada metode pembelajaran yang efektif dan tidak menekan pada perkembangan siswa. Perubahan gaya kepemimpinan dalam PBM seperti ini sangat penting untuk direalisasikan demi menjamin kesuksesan proses belajar-mengajar. 











DAFTAR PUSTAKA

Syah, Muhibbin. 1997. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cetakan ke-3. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Jumat, 04 Desember 2009

PENGENALAN DAN BIMBINGAN PADA ANAK-ANAK AUTIS

PENDAHULUAN

 Mempunyai keturunan yang sehat dan normal, adalah dambaan setiap orang yang sudah berumah tangga. Anak adalah dambaan dan penerus dari perjuangan orangtua. Orang tua akan sangat bangga jika anaknya mempunyai badan yang sehat, tidak nakal dan mempunyai intelegensi di atas rata-rata. Mereka akan selalu membangga-banggakan anaknya pada semua orang, menceritakan berbagai prestasi anaknya dan terkadang ada perasaan bahwa anaknya adalah anak yang paling unggul daripada yang lain. Namun bagaimana jika apa yang menjadi harapannya itu tidak terpenuhi? Apa yang akan orangtua lakukan jika Allah SWT memberikan mereka seorang anak yang tidak normal dalam fisik dan psikisnya? Apa yang akan mereka lakukan jika bagian dari darah dan daging mereka sendiri ternyata penderita autis?
 Bagaimana rasanya sebagai orangtua yang anaknya divonis menderita ASD (Autism Spectrum Disorder), proses apa yang akan dihadapi orangtua, harapan apa yang ada pada mereka, dan apa yang akan dilakukan para dokter atau psikiater dalam upaya membantu keluarga memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak dengan resiko tinggi ini? Anak-anak autis termasuk Children at Risk, dan mereka berhak mendapatkan kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih baik.  
  
 
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AUTISME
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Ada 2 kategori Autisme yaitu : 
1 . Autisme kategori Berat 
 Ada anak-anak autis yang kita bisa lihat jelas seperti (mongolisme) raut muka yang berbeda dari raut muka anak-anak normal seperti mata sipit dan bibir terbuka dengan air liur meleleh, gangguan motorik berat , sulit bicara ,dan kalau ada sesuatu kejadian yang di anggap asing oleh mereka maka terjadilah reaksi kepaniekan yang luar bisaa.
2. Autisme kategori ringan 
 Ada anak-anak autis yang raut mukanya manis (tidak cacat) ,tidak terlalu banyak gangguan motoriknya jarang bicara ,tetapi dalam observasi yang lebih dekat jelas menunjukan bahwa anak itu menjaga jarak tidak mau di sentuh dan menjawab menjawab setiap pertanyaan dengan pendek.
 Perspektif dari anak-anak autis sangat sulit untuk ditempuh karena mereka mempunyai niveau functie intellectueelnya sangat rendah. Maka dari itu mereka di bimbing untuk mengikuti pelajaran di sekolah luar bisaa (SLB) Orang dewasa Autis hanya mencapai 5% yang mampu tinggal mandiri , untuk sebagian lainnya yang Autis membutuhkan perhatian penuh dan harus di dampingi setiap harinya , biasanya masuk panti penitipan anak-anak sehari -hari untuk anak-anak autis , dimana di sana para pembimbing di tuntut untuk bersabar dan memberikan perhatiaan .
Ada beberapa tanda-tanda Autisme dan sebab-sebabnya juga ada metode pengarahan untuk anak-anak autisme. Autisme adalah bentuk dari penyimpangan kelakuan yang mana sulit di kenal. Autisme berasal dari bahasa Yunani "Autos " yang artinya konsentrasi terhadap dirinya sendiri. Menurut Seorang Psykiater anak dari Amerika, Leo Kanner tahun 1943 dan menurut Orthopedagoge dari Belanda Berckelaer-Onnes adalah Mereka menyimpulkan tentang hasil penelitian mereka Diantaranya seperti : 
1.Gangguan dalam menjalin relasi 
Hubungan dengan orang lain sangat sulit sekali kalaupun ada hanya karena terbiasa dengan orang tersebut atau ada suatu kepercayaan karena biasanya orang-orang tersebut orang terdekat atau kerabat dekat saja. Meraka tidak membuat kontak mata atau sangat minim sekali, mereka tidak atau jarang mau dipeluk atau dipegang, dalam waktu ketakutan atau lagi menangis mereka sulit untuk diredakan atau dibujuk. 
2.Gangguan dalam Berbicara 
Mutisme adalah tanda kedua dari anak-anak autis yang berarti tidak komunikatif dalam bicara. Anak dengan Autisme ada penyimpangan dalam hal berbicara, hampir setengahnya anak autis mempunyai masalah, 
seperti :
• Bicara Monotone, di mana anak autis bicara tidak punya intonasi 
• Bicara Seperti Kakatua, dimana mereka bicara terus berulang-ulang atau mengulangnya bila di tanya 
• Pergantian kata, seperti bilang “kamu” artinya “saya” ,bilang “saya” berarti “kamu”. Contoh : bila dia mau Es Cream akan bicara seperti ini “Kamu mau Es Cream ?” 
• Bahasa yang berkesan untuk menjauhkan diri, seperti sering di gunakan oleh anak autis di atas 16 tahun yang di temukan oleh Psykolog hasil penelitiannya dengan anak autis, dimana dia menanyakan beberapa pertanyaan, mereka hanya menjawab " Kenapa kamu mau tahu ? " 
3. Gangguan alat Indra
Biasanya mereka ada gangguan pada pendengaran, Raut muka, dan gangguan rasa meraba, mereka tidak tertarik untuk mendengar, tidak tertarik dengan melihat, tetapi mereka akan panik jika mendengar suara atau bunyi yang keras. Kadang mereka tidak merespon dikala Dokter menyuntiknya. 
4.Gangguan Motorik 
Di mana kita tidak menstimulier mereka, maka mereka akan melakukan gerakan-gerakan seperti : Megang-megang ujung baju, gerakan kiri kanan, tepuk tangan, untuk mereka dunia adalah sama, Melakukan gerakan dengan ritme yang sama 
5.Tidak tahan dengan perubahan sekitar 
Mereka ingin hidup di tempat / sekitar yang membuat suasana untuk mereka aman, contoh :
• Bisa lama-lama duduk di lantai dengan gerakan yang sama 
• Dengan tidak jenuh-jenuhnya bermain dengan jepit pakaian 
• Bisa panik ketika di dalam kamarnya kursinya dipindahkan 
• Maka dari itu, setiap sesuatu yang baru harus dengan hati hati atau pelan-pelan diperlihatkan untuk mendapat kepercayaannya, lalu dengan ritme yang sama mereka mencari atau membalance situsi yang baru itu. 
6.Rasa ketakutan yang tidak logis 
Seperti dengan tiba-tiba mereka ketakutan di mana orang tua atau orang di sekitar tidak tahu sebab. Mereka bisa tiba-tiba menangis dan menjerit jerit, loncat-loncat keras, dan sangat sulit untuk diredakan. Hal ini akan menimbulkan rasa frustrasi terhadap orang tua dan mereka merasa malu terhadap orang-orang di sekitarnya. Makanya banyak orang tua yang enggan membawa anak autis untuk berkunjung, atau berbelanja, mereka diserang rasa takut dengan tiba-tiba yang tidak bisa di mengerti oleh kita.


B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB AUTIS
Menurut para peneliti dan psikolog anak ada beberapa ada beberapa faktor penyebab autisme, seperti : 
1. Faktor sekitar 
Dulu orang menyebut bahwa anak jadi autis karena tidak mendapat kasih sayang dari orang tua dan kurangnya kasih sayang. Ternyata setelah ada penelitian dengan orang tua yang sama dan si orang tua tidak membedakan kasih sayang dan perhatian, ternyata dapat di kongklusikan sangat minim sekali untuk mendiagnosa anak sebagai anak autis.
2. Faktor Keturunan 
Seandainya di suatu keluarga ada anak autis ada kemungkinan dari salah satu keluarga yang lain ada yang autis juga, seandainya ada anak kembar yang lahir dari satu telur autis maka kemungkinana 36 % yang satunya lagi autis, di sini faktor keturunan berpengaruh besar. 
3.Faktor Biologi 
 Baru-baru in para peneliti yakin sekali bahwa gangguan di otak adalah faktor utama yang sangat dominan, yaitu : 
- Gangguan EEG ( Electro Encefalo Gram) 
- Mereka biasanya sering diserang Epilepsi 
- Anak autis bisa terjadi dari faktor penyakit seperti toxoplasmose (parasiet dari daging yang masih mentah, hati hati dengan kotoran kucing) atau Rubela (Virus) yang membuat syaraf-syaraf rusak. 

C. CARA MERAWAT ANAK AUTIS
Banyak di antaranya para orang tua yang jadi frustasi karena mereka kadang bingung dan tak berdaya apa yang harus mereka lakukan terhadap anaknya? Memang hal ini bukanlah masalah yang mudah untuk para orang tua yang tidak tahu atau tidak punya informasi sama sekali, di kala para orang tua melihat anaknya jadi bahan ejekan atau olok-olok dari anak-anak di sekitarnya atau yang melihatnya, kadang ada orang dewasapun atau orang tua yang belum bisa menyembunyikan rasa ketidaktoleransiannya dengan cara tidak mengizinkan anaknya bermain dengan anak yang autis dengan alasan anak autis adalah anak tidak waras dan itu akan lebih menyakitkan para orang tua yang mempunyai anak dengan autisme. 
Malah masih ada sebagian masyarakat yang masih menyembunyikan anaknya dan dengan sadar tidak menghitungnya dalam jumlah anggota keluarga, rasa malu terhadap lingkungan sekitar adalah salah satu faktor yang justru membuat si anak menderita dan terasingkan sama sekali. Maka dimana orang tua banyak menerima informasi tentang autisme haruslah terbuka pintu hati mereka untuk malakukan spesialisasi anak yang autisme sebagai sebagian dari kehidupan mereka dan tidak mengasingkannya, melainkan berusaha untuk mencari jalan untuk meringankan beban pikiran sebagai orang tua yang ada dalam ketidakberdayaan menghadapinya. Jika seorang anak sudah di diagnosa oleh Dr. ahli anak atau Psykolog anak bahwa anak itu autis, maka bimbingan dan pengobatan akan berlanjut dan ini hanya terjadi pada sebagian kecil saja, karena faktor ekonomi dan intelektueel dari para orang tualah yang sangat mempengaruhi untuk kelanjutannya.
Hometraining adalah salah satu program pembimbingan terhadap anak-anak autis dan orang terdekat yang bersangkutan atau orang tualah sebagai peran pertama. dalam metode untuk meringankan beban orangtua dan mendiagnosa anak-anak autis untuk diberikan bimbingan dan penanganan selanjutnya. Contohnya, di Belanda proses hometraining itu ada 3 periode : 
• Periode Perkenalan Maksudnya untuk mengetahui background dari keluarga tersebut seperti : Financial, sejarah dari anak itu sendiri bagaiman perkembangan yang sekarang dan penangan apa yang harus di berikan,bantuan macam apa untuk orangtuanya. 
• Periode Bimbingan Seperti bagaimana anak-anak autis bisa membuat kontak dengan orang-orang di sekitarnya dan dengan anak-anak autis lainnya,bagaimana cara membuat agar si anak itu bisa mengurangi gerakan yang berulang-ulang , bagaiman cara agar si anak tidak usah panik dengan sesuatu yang berubah dalam sekitarnya . Dengan training seperti anak -anak autis di ajak dengan ke pasar, ke took, berkunjung ke tempat-tempat umum yang banyak di kunjungi orang. 
• Periode Terakhir Biasanya kalau program bimbingan sudah 1,5 tahun program ini berakhir ,tentu saja membuat para orangtua sedikit susah untuk melepasnya tetapi di sini justru orang tua harus praktek sendiri dengan apa yang pernah mereka dapatkan dari program hometraining selama 1,5 tahun. 
Karena Autisme adalah gangguan organis yang tidak bisa di sembuhkan, maka dengan latihan dan bimbingan sehari-hari secara kontinyu dan disiplin maka sedikitnya dia akan terbiasa akan rutinitas sehari-harinya, sebagai orang tua janganlah mengharap terlalu tinggi akan kemandirian anaknya yang autis, karena bagaimanapun juga anak-anak autis hanya sedikit saja yang bisa mandiri setelah dewasa.


 
DAFTAR PUSTAKA

www.zaenal-aripin.com (By. Nungky Gabriel/Orang Garut Tinggal di Belanda)
www.warnadunia.com

MENGEMBANGKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU INDONESIA

PENDAHULUAN


Perkembangan dunia pendidikan dewasa ini begitu cepat. Sejalan dengan kemajuan teknologi dan globalisasi (semakin merapatnya dunia menjadi satu, tanpa batas dan tanpa sekat waktu). Perkembangan cepat itu perlu diimbangi kemampuan pelaku utama pendidikan dalam hal ini Guru.Kemampuan professional dan ketrampilan mereka perlu ditingkatkan.

Bagi sementara guru, menghadapi perubahan yang cepat dalam pendidikan dapat membawa dampak kecemasan dan ketakutan. Perubahan dan pembaharuan pada umumnya membawa banyak kecemasan dan ketidak-nyamanan. Implikasi perubahan dalam dunia pendidikan, bukan perkara mudah, karena mengandung konsekwensi teknis dan praksis, serta psikologis bagi guru. Misalnya perubahan kurikulum, atau perubahan kebijakan pendidikan. Perubahan itu tidak sekedar perubahan struktur dan isi kurikulum. Atau sekedar perubahan isi pembelajaran. Tetapi perubahan yang menuntut perubahan sikap dan perilaku dari para guru. Misalnya perubahan karakter, mental, metode, dan strategi dalam pembelajaran.
Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru merupakan salah satu faktor yang amat penting. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Adapun dalam makalah ini, akan dibahas mengenai upaya dalam mengembangkan kompetensi pedagogik guru.
 
PEMBAHASAN


A. Pengertian Kompetensi Pedagogik
Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan. Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan. 
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan pengertian kompetensi pedagogik guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu : 
Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 
B. Upaya Pengembangan Kompetensi Pedagogik
Dalam penerapannya, seorang guru harus mampu melaksanakan beberapa aspek kegiatan yang mengacu pada prinsip-prinsip dasar kompetensi pedagogik. 
NO KOMPETENSI INTI KOMPETENSI MATA PELAJARAN
1 Menguasai karakteristik
peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. 1. Memahami karakteristik peserta didik yang berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, sosial-emosional, moral, spiritual, dan latar belakang sosial budaya;
2. Mengidentifikasi potensi peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu;
3. Mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu;
4. Mengidentifikasi kesulitan belajar peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu.
2 Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. 1. Memahami berbagai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik terkait dengan mata pelajaran yang diampu;
2. Menerapkan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif dalam mata pelajaran yang diampu.
3 Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu. 1. Memahami prinsip-prinsip pengembangan kurikulum;
2. Menentukan tujuan pembelajaran yang diampu;
3. Menentukan pengalaman belajar yang sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diampu;
4. Memilih materi pembelajaran yang diampu yang terkait dengan pengalaman belajar dan tujuan pembelajaran;
5. Menata materi pembelajaran secara benar sesuai dengan pendekatan yang dipilih dan karakteristik peserta didik;
6. Mengembangkan indikator dan instrument penilaian.
4 Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik. 1. Memahami prinsip-prinsip perancangan pembelajaran yang mendidik;
2. Mengembangkan komponen-komponen rancangan pembelajaran;
3. Menyusun rancangan pembelajaran yang lengkap, baik untuk kegiatan di dalam kelas, laboratorium, maupun lapangan;
4. Melaksanakan pembelajaran yang mendidik di kelas, di laboratorium, dan di lapangan dengan memperhatikan standar keamanan yang dipersyaratkan;
5. Menggunakan media pembelajaran dan sumber belajar yang relevan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran yang diampu untuk mencapai tujuan pembelajaran secara utuh;
6. Mengambil keputusan transaksional dalam pembelaja-ran yang diampu sesuai dengan situasi yang berkembang.
5 Memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi
untuk kepentingan pembelajaran. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran yang diampu;
6 Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. 1. Menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran untuk mendorong peserta
2. didik mencapai prestasi secara optimal;
3. Menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran untuk mengaktualisasikan potensi peserta didik, termasuk kreativitasnya.
7 Berkomunikasi secara efektif,
empatik, dan santun dengan peserta didik. 1. Memahami berbagai strategi berkomunikasi yang efektif, empatik, dan santun, secara lisan, tulisan, dan/atau bentuk lain;
2. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik dengan bahasa yang khas dalam interaksi kegiatan/permainan yang mendidik yang terbangun secara siklikal dari:
a) Penyiapan kondisi psikologis peserta didik untuk ambil bagian dalam permainan melalui bujukan dan contoh;
b) Ajakan kepada peserta didik untuk ambil bagian;
c) Respon peserta didik terhadap ajakan guru; dan
d) Reaksi guru terhadap respons peserta didik, dan seterusnya.
8 Menyelenggarakan penilaian
dan evaluasi proses dan hasil belajar. 1. Memahami prinsip-prinsip penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu;
2. Menentukan aspek-aspek proses dan hasil belajar yang penting untuk dinilai dan dievaluasi sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diampu;
3. Menentukan prosedur penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar;
4. Mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar;
5. Mengadministrasikan penilaian proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan menggunakan berbagai instrumen;
6. Menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk berbagai tujuan;
7. Melakukan evaluasi proses dan hasil belajar.
9 Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan
pembelajaran. 1. Menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk menentukan ketuntasan belajar;
2. Menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk merancang program remedial dan pengayaan;
3. Mengkomunikasikan hasil penilaian dan evaluasi kepada pemangku kepentingan;
4. Memanfaatkan informasi hasil penilaian dan evaluasi pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
10 Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. 1. Melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan;
2. Memanfaatkan hasil refleksi untuk perbaikan dan pengembangan pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampu;
3. Melakukan penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dalam mata pelajaran yang diampu.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan ini adalah dengan melaksanakan penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas, berbasis pada perencanaan dan solusi atas masalah yang dihadapi anak dalam belajar. Sehingga hasil belajar anak dapat meningkat dan target perencanaan guru dapat tercapai. Pada prinsipnya, Kesemua aspek kompetensi pedagogik di atas senantiasa dapat ditingkatkan melalui pengembangan kajian masalah dan alternatif solusi.
 
KESIMPULAN

Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan ini adalah dengan melaksanakan penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas, berbasis pada perencanaan dan solusi atas masalah yang dihadapi anak dalam belajar. Sehingga hasil belajar anak dapat meningkat dan target perencanaan guru dapat tercapai.

PENDIDIKAN MASA DEPAN

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. 
Jadi bagaimanakah kira-kira model pendidikan di masa mendatang yang langkahnya sesuai dengan tujuan pendidikan yang kita harapkan? Yang pasti, pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.
 
PEMBAHASAN


A. PILAR-PILAR PENDIDIKAN
Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: 
• learning to Know (belajar untuk mengetahui), 
• learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, 
• learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan 
• learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Dalam rangka merealisasikan `learning to know`, Guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.
Pendidikan yang diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan dari daerah tempat dilangsungkan pendidikan. Unsur muatan lokal yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.
learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru dan guru sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara maksimal.
Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Penerapan pilar keempat ini dirasakan makin penting dalam era globalisasi/era persaingan global. Perlu pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal tersebut.

B. PENDIDIKAN BERORIENTASI KE MASA DEPAN
Pendidikan tidak selalu identik dengan sekolah atau madrasah (schooling). Pendidikan adalah proses mentransfer nilai, pengetahuan, dan ketrampilan dari generasi tua kepada generasi muda untuk hidup sejahtera pada zamannya. Karena itu, kita harus sanggup mendasain pendidikan untuk masa depan, demikian apa yang disampaikan oleh Prof. A. Qodri Aziziy, Ph.D-- Dirjen Bagais Depag RI di Jakarta baru-baru ini. Dengan demikian, maka format pendidikan haruslah fokus, memiliki arah, tujuan (purpose), target dan imajinasi kehidupan yang diidealkan di masa depan. Pendidikan harus sanggup menghasilkan produk anak terdidik, karena pendidikan mempunyai andil besar dalam mempertanggungjawabkan kondisi moralitas bangsa dan kualitas SDM. Tepatlah kirannya kalau pendidikan dapat disebut sebagai human capital. 
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia yang kemudian “diobati” dengan reformasi, ternyata diikuti pula oleh beberapa anomali yang bersifat kontraproduktif, yakni krisis etika dan moralitas yang semakin akut. Perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi penyakit sosial bangsa ini. Dekadensi moral yang luar biasa merupakan penyebab utama keterpurukan bangsa yang dulu dikenal sebagai bangsa yang santun dan taat beragama. Aneh memang, bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan melandaskan falsafah negaranya pada Ketuhanan Yang Maha Esa, ternyata menjadi negara yang paling korup di Asia dan di dunia. Angka Human Development Index (HDI) kita juga tertinggal jauh dengan negara yang dulunya belajar dengan kita. 
Prestasi yang semakin menurun dan citra yang buruk merupakan ironi bagi kita. Para pakar berpendapat bahwa krisis moneter yang menggelinding menjadi krisis multidimensional salah satu penyebabnya adalah masih dimarginalkannya pendidikan sebagai faktor perubah nasib bangsa. Perubahan bangsa baik yang mengarah kepada kemajuan (progresif) maupun yang mengarah kepada kemunduran (regresif) merupakan masalah yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan penyelengaraan pendidikan, baik formal, maupun informal. Pendidikan sebagai human capital akan menjadi suatu aset dan berperan sebagai agen perubahan sosial yang akan mampu membawa dan mengarahkan seseorang (penduduk Indonesia) pada umumnya untuk meraih masa depan yang gemilang berkeadilan dan sejahtera. 
Dengan demikian, tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia di era globalisasi ini.
Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu:
• Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan);
• Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?;
• Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku pelajaran);
• Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?;
• Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?;
• Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi);
• Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?.
Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar.
 
PENUTUP

Tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia di era globalisasi ini. 
Selain itu, perlu diadakan pembenahan-pembenahan dalam komponen-komponen pendidikan, berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Selain itu, perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar.